DidiKhoididi, ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Tanjung Tuha Pasir Putih, Desa Bakauheni menyebut, fasilitas wisata di wilayah tersebut mengalami kerusakan. Kawasan seperti hutan mangrove tersebut sebagian tetap bertahan meski ada terjangan tsunami. Bantuan dari Kementerian Kelautan disebutnya akan diaplikasikan dalam
JAKARTA-Pemerintah Kabupaten, Banten, telah membuat rencana induk obyek wisata hutan bakau mangrove di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD terkait. "Pada tahap awal dibuatkan rencana kerja menyeluruh mulai pertengahan Januari 2017," kata Sekretaris Daerah Pemkab Tangerang Iskandar Mirsyad di Tangerang, Jumat. Iskandar mengatakan tim tersebut terdiri dari Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya dan Pariwisata Disporabudpar, Dinas Perikanan dan Kelautan DPK, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda serta melibatkan Perhutani. Hal tersebut karena lahan yang digunakan di Desa Tanjung Pasir itu sebagian merupakan milik Perhutani dan penduduk setempat. Menurut dia, sebagai pimpinan dari tim tersebut ditunjuk aparat Disporabudpar karena mereka dianggap mampu menanggani pariwisata. Keberadaan Tanjung pasir sebagai obyek wisata bakau sangat penting karena berada di wilayah pesisir Laut Jawa yang setiap tahun mengalami abrasi akibat ombak. Namun obyek wisata itu juga sebagai penahan gelombang, maka ditanam ribuan pohon bakau agar dapat berfungsi ganda termasuk mengurangi abrasi pantai. Iskandar menambahkan untuk tahap berikutnya dibangun jalan menuju obyek wisata karena selama ini belum ada agar pelancong dapat menuju lokasi tanpa kendala. Sedangkan lahan yang disiapkan untuk obyek wisata tersebut seluas 12 hektare dan pada lokasi itu juga dibangun sarana maupun prasarana pendukung. Sebagai contoh di lokasi itu juga dibangun tempat kuliner, arena memancing dan lokasi bermain anak agar mereka dapat mencintai alam dan lingkungan. Demikian pula wisatawan dapat menikmati keindahan hutan bakau serta kuliner yang tersedia terutama aneka makanan yang berbahan dasar ikan serta hasil laut lainnya. Bahkan di lokasi tersebut juga disediakan tempat sebagai sarana pembelajaran bagi siswa yang berminat untuk mempelajari masalah mangrove. Budi Suyanto
KubuRaya memiliki potensi sumberdaya hutan mangrove luar biasa. Luasnya mencapai 129.023,738 hektare. Potensi ini memberi peluang besar bagi pemanfataan mangrove, salah satunya sebagai bahan baku arang bakau di Kecamatan Batu Ampar. Pemanfaatan hutan mangrove, tidak saja menjadi penopang ekonomi, tapi juga membuka ruang konflik yang
Hutan mangrove di Tanjung Boleu di kawasan Pantai Hate Jawa di Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara kini rusak parah karena eksploitasi warga sekitar, dan berdampak pada abrasi pantai dan hilangnya udang serta ikan teri tangkapan warga. Untuk mengembalikan hutan mangrove Tanjung Boleu yang dulunya sangat lebat itu, Pemerintah Desa Kao menerbitkan Perdes tentang Pelestarian Lingkungan Hidup demi mengkonservasi ekologi pesisir terutama hutan mangrove Usaha konservasi itu diapresiasi oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan menetapkan kawasan hutan mangrove Desa Kao menjadi KEE seluas 400 hektar. KEE Desa Kao ini merupakan satu-satunya di Maluku dan Maluku Utara. KEE kawasan mangrove Desa Kao memiliki sumber daya alam hayati yang bernilai penting dan keunikan tersendiri. Misalnya menjadi lokasi bertelurnya penyu dan menjadi ekosistem bagi 23 spesies burung seperti burung endemik Gosong Maluku dan burung migran dara laut China China crested tern yang sangat langka. Tanjung Boleu di kawasan Pantai Hate Jawa di Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara itu dulu dipenuhi mangrove yang memanjang ke laut sekira 20 meter. Itu kondisi 20 tahun lalu. Kini mangrove-nya telah habis. Diambil warga untuk kebutuhan dan akhirnya dihantam abrasi. Tanjung Boleu kini telah menjadi laut. Yang tersisa hanya batang mangrove yang telah mati tertimbun pasir pantai. Kondisi yang sama juga terlihat di tepi pantai berpasir halus sepanjang 3 kilometer itu. “Dulu kalau dilihat dari kampung Kao ini ke kawasan Tanjung Boleu tidak tembus. Pulau Roni di Kabupaten Halmahera Timur itu juga tidak terlihat karena tebalnya hutan mangrove. Sekarang semua telah hilang dan tersisa hanya laut. Kondisi 20 tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang,” jelas Lukman Langga ketua kelompok kebun rakyat bibit mangrove desa Kao Halmahera Utara, Selasa 18/8 lalu. Kehilangnya hutan mangrove ikut mengancam kondisi ikan dan udang. “Dulu udang laut dan teri melimpah. Orang hanya pakai jala dapat udang sangat banyak. Tapi sekarang sudah sangat susah. Orang menggunakan berbagai macam alat tangkap tetapi ikan dan udang makin susah,” katanya. Rusaknya hutan mangrove di desa ini karena eksploitasi manusia. Sejak dulu warga setempat memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar untuk memasak bahkan untuk dijual. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, Pemerintah Desa Kao didukung berbagai pihak membuat peraturan desa Perdes tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. baca Hutan Mangrove Maluku Utara Kian Terdesak Tanjung Boleu di pesisir pantai Hate Jawa, Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara yang hilang mangrovenya dan kini telah menjadi laut. Foto Adlun Fikri/AMAN Maluku Utara Sekretaris Desa Kao Rahmat Salampe proses penyadaran warga untuk melestarikan hutan mangrove sampai keluar Perdes tidak mudah. Setelah dilakukan sosialisasi Perdes terus menerus, warga Desa Kao kemudian sadar. Apalagi mereka merasakan sendiri dampak buruk kerusakan hutan mangrove yaitu abrasi dan hilangnya udang dan ikan teri. Tetapi tidak dengan warga tetangga desa. Hampir setiap saat masuk ke kawasan hutan mangrove untuk mengambil kayu dan berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya. “Pengalaman ada warga tetangga desa terpaksa ditahan kayu olahanya oleh warga Kao karena mengolah kayu dari dalam kawasan,” jelas Rahmat. Ada lima desa sekitar yang menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai sumber ekonomi dan terutama ikan dan kayu bakar dan kayu untuk bangunan. Dia menjelaskan dalam Perdes diatur jelas soal hutan mangrove, pantai, dan sungai. Di mana setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di wilayah desa Kao. Dilarang menebar atau menggunakan bahan kimia, bahan beracun, bahan peledak dan setrum listrik untuk menangkap ikan, udang, dan sejenisnya di pantai,sungai, kolam, kali, dan saluran irigasi lainnya di wilayah desa Kao. Dilarang berburu, menembak, menangkap segala jenis burung di kawasan pantai dan hutan mangrove Desa Kao. Perdes juga melarang pembuangan sampah, tinja, bangkai, bahan beracun, bahan berbahaya, dan bahan pencemar air ke pantai, sungai, kali, dan saluran air lainnya serta di semua tempat yang berpotensi wisata Desa Kao. Dilarang menebang dan merusak pohon di kawasan pantai dan hutan mangrove Desa Kao. Dilarang melakukan kegiatan pembangunan dan usaha pengelolaan tumbuhan mangrove, burung, kerang, kepiting, dan udang di kawasan pantai dan hutan mangrove di Desa Kao tanpa mendapatkan izin tertulis dari Pemerintah Desa Kao. Juga dilarang melakukan kegiatan usaha yang ada kemungkinan menimbulkan pencemaran sebelum mendapatkan izin lingkungan dari yang berwenang. Dalam Perdes juga mengatur setiap orang yang melanggar diwajibkan melakukan ganti rugi dan pemulihan serta denda paling sedikit Rp2 juta dan paling banyak Rp10 juta. baca juga Wisata Andalan Desa Ini dari Menjaga Hutan Mangrove Kondisi tegakan hutan mangrove di kawasan KEE Kao Halmahera Utara. Foto Radios Simanjutak Kawasan Ekosistem Esensial Usaha konservasi kawasan hutan mangrove Desa Kao akhirnya diapresiasi oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara dengan menetapkan kawasan hutan mangrove Desa Kao menjadi Kawasan Ekosistem Esensial KEE melalui SK Bupati yang menetapkan Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE Kao. KEK Desa Kao ini merupakan satu-satunya di Maluku dan Maluku Utara. KEE adalah ekosistem esensial yang ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi, yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif provinsi/kabupaten/kota. Pengelolaan dilakukan secara kolaborasi dalam suatu Forum KEE dan menyampaikan laporannya ke Bupati dan KLHK Balai KSDA Maluku/Malut. Sekretaris Desa Kao Rahmat Salampe menjelaskan 400 hektar dari 404 hektar luas mangrove masuk dalam KEE. Sesuai visi Desa Kao kawasan ini juga telah ditetapkan menjadi kawasan ekowisata mangrove. Hal ini masuk dalam RPJMD rencana pembangunan jangka menengah desa Kao, sesuai kajian potensi dan masalah di desa. Untuk mewujudkannya desa telah bermitra dengan berbagai pihak. “Sejak tahun lalu, kami ada workshop kolaborasi pengelolaan mangrove dan satwa liar di Desa Kao,” jelasnya. Ada sejumlah mitra dari Pemkab Halmahera Utara, Dinas Pariwisata, Balitbangda, Universitas Halmahera, PW AMAN Maluku Utara, Burung Indonesia, Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Balai KSDAE, Kelompok Pemangku Hutan, Forum Daerah Aliran Sungai dan sejumlah instansi lain. “Hasilnya dibentuk struktur forum kolaborasi dan kita menetapkan rencana aksi, Forum Kolaborasi Pengelolaan KEE itu total berisi 18 anggota dan 19 mitra organisasi, dengan kepala Desa Kao sebagai ketua forum. Saat ini SK KEE juga sudah turun dengan luas kawasan 400 hektar,” jelas Rahmat. menarik dibaca Sudirahmat, Penggerak Tanam Mangrove dari Guruapin Bagian 2 Bekas galian warga mencari telur burung mamua atau gosong di pesisir pantai Hate Jawa, Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Foto Adlun Fikri/AMAN Maluku Utara Kehati Tinggi Sebelumnya, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA Maluku waktu itu, Mukhtar Amin Ahmadi, memaparkan kawasan mangrove Desa Kao memiliki sumber daya alam hayati yang bernilai penting. Hal itu membuat pihaknya turut mendorong, agar dijadikan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial KEE. “Fungsi kami di Balai KSDA Maluku adalah kegiatan memfasilitasi terbentuknya kawasan ekosistem esensial, kebetulan di Halmahera Utara ini adalah hutan mangrove di Desa Kao,” ujar Mukhtar dalam Sosialisasi dan Konsultasi Publik Deliniasi KEE Kao di Tobelo, Halmahera Utara, akhir tahun lalu, saat pertemuan para pihak di Kao. Dia bilang dalam usulan KEE Kao, telah dilakukan inventarisasi hingga delineasi kawasan oleh forum kolaborasi yang sebelumnya telah terbentuk. Kawasan mangrove di Desa Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara, memiliki keunikan tersendiri. Menjadi lokasi bertelurnya penyu dan burung endemik Gosong Maluku. Kawasan ini juga menjadi ekosistem bagi 23 spesies burung. Beny Aladin Biodiversity Officer Burung Indonesia menjelaskan alasan dan dasar mereka membantu memfasilitasi kawasan mangrove desa ini dijadikan KEE karena adanya riset-riset sebelumnya menyangkut keanekaragaman hayati di dalam kawasan ini terutama burung- burungnya. Burung Indonesia katanya akan melakukan kajian keanekaragaman hayati yang ada di dalam KEE ini tidak hanya burung, Bahkan akan melakukan kajian sosial dan memperkuat kelembagaan di desa dalam upaya memperkuat pengelolaan KEE ini. perlu dibaca Burung Gosong, Inilah Kerabat Maleo dari Maluku Identifikasi jenis-jenis burung yang ada di KEE kawasan mangrove Desa Kao, Kecamatan Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara oleh Burung Indonesia. Foto Adlun Fikri/AMAN Maluku Utara Beny mengatakan pihaknya membantu mendorong KEE yang sudah dikerjakan bersama oleh AMAN Malut, perguruan tinggi di Halmahera Utara, Forum DAS Dukono Halmahera Utara dan yang lainnya. Burung Indonesia juga tertarik karena kawasan Kao berdasarkan hasil riset sebelumnya, daerah ini menjadi tempat singgah burung migrasi dari daratan China yaitu dara laut China China crested tern yang sangat langka. Burung ini berbiak di Cina, jika musim dingin terbang ke selatan hingga Australia. Saat terbang menuju Australia menyinggahi kawasan ini. Dara laut china ditemukan satu ekor di antara kelompok burung yang terbang dan singgah kawasan berpasir pantai daerah Kao. Memang, kata Benny, sampai saat ini belum ditemukan kembali burung ini, tetapi riset sebelumnya menjadi dasar untuk dilakukan pembuktian jika ditemukan lagi burung sejenis. Artikel yang diterbitkan oleh abrasi, biota laut, Deforestasi, ekologi pesisir, featured, halmahera, hutan mangrove, kerusakan lingkungan, kesejahteraan nelayan, maluku, Maluku Utara, satwa laut LaporanAulia Prasetya | Sabang SERAMBINEWS.COM, SABANG - Dalam rangka memperingati Hari Mangrove Sedunia 26 Juli 2022, menyambut HUT Ke-77 Republik Indonesia Tahun 2022 Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat dan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022 di Bali, prajurit Lanal Sabang bersama Forkopimda dan masyarakat Pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk mengelola ekosistem pesisir agar tetap dalam keadaan baik, adalah bagaimana menjaga dan merawat ekosistem mangrove yang berperan sangat penting untuk bisa menjaga keberlanjutan pesisir Ekosistem mangrove yang mengalami degradasi, secara bertahap diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia dengan melibatkan banyak pihak dari dalam dan luar negeri. Targetnya, pada 2024 nanti sudah bisa direhabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare Selain bisa menjaga lingkungan pesisir dari berbagai ancaman bencana alam dan dampak perubahan iklim, keberadaan ekosistem mangrove juga diyakini bisa menjadi penopang masyarakat pesisir untuk mengumpulkan rupiah Agar program percepatan rehabilitasi mangrove bisa tetap menjaga keberlanjutan, maka konsep rehabilitasi mangrove disusun pada level lanskap. Pengelolaan berbasis lanskap tersebut, tujuannya untuk menyeimbangkan kepentingan penggunaan lahan yang saling berkompetisi Upaya untuk memulihkan ekosistem mangrove yang mengalami degradasi, terus dilakukan melalui berbagai cara oleh Pemerintah Indonesia. Selain dilakukan sendiri, pemulihan juga dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dari dalam dan luar negeri. Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan di Indonesia, diyakini tak hanya untuk memberikan perlindungan terhadap ekologi lingkungan di laut dan pesisir. Namun juga, akan bisa meningkatkan ekonomi sosial masyarakat di pesisir. Demikian diungkapkan Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Kus Prisetiahadi di Jakarta belum lama ini. Perlunya keterlibatan dari masyarakat, karena dengan menjadi sumber ekonomi baru, itu akan memberikan dampak positif kepada Indonesia maupun dunia. Itu sangat baik untuk memperkuat upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pendekatan pentahelix pemerintah, akademisi, komunitas/masyarakat, bisnis dan media. Adapun, pelibatan masyarakat dilakukan dalam setiap strategi dan program yang fokus pada program rehabilitasi dan pembibitan mangrove dengan luasan mencapai 600 ribu hektare. Mereka hadir untuk terlibat dalam banyak program dan kegiatan di sekitar ekosistem mangrove. Sebut saja, program ekowisata dan produk turunan mangrove lain, proyek ekosistem karbon biru EKB, pembangunan pusat mangrove, kemitraan antara Pemerintah dengan swasta, serta kerja sama internasional yang fokus pada kegiatan penelitian dan pengembangan. “Strategi kerja sama dengan dukungan dana dari luar negeri menjadi salah satu faktor pendukung untuk percepatan rehabilitasi mangrove di Indonesia,” ungkap dia. baca Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional Wisatawan menikmati hutan mangrove di Pulau Mangare, Gresik, Jatim. Salah satu jenis tumbuhan mangrove itu adalah api-api Avicennia sp.. Foto Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia Kerja sama yang dimaksud, mencakup pengelolaan dengan melibatkan teknologi dan ilmu pengetahuan terbaru. Metode seperti itu diterapkan melalui kerja sama dengan sejumlah negara seperti Persatuan Emirat Arab, Arab Saudi, Korea Selatan, dan Singapura. Selain itu, Kus Prisetiahadi juga menyebutkan kalau kerja sama yang dilakukan Indonesia melibatkan Bank Dunia serta Bank Pembangunan dan Investasi Jerman KFW. Seluruh negara dan instansi luar negeri tersebut sudah menandatangani nota kesepahaman MoU dengan Indonesia. “Sudah ditandatangani MoU dengan beberapa negara,” tutur dia. Sejumlah program dan kegiatan yang fokus dilaksanakan adalah pengembangan MBZ International Mangrove Research Center for Climate MBZIMRC di Bangka Belitung. Kemudian, ada juga rencana rehabilitasi mangrove seluas 150 ribu ha di sembilan lokasi yang diajukan Arab Saudi. Sementara, kerja sama dengan Singapura dilakukan dengan fokus pada pengembangan riset untuk proyek EKB sebagai solusi mitigasi perubahan iklim. Untuk kerja sama tersebut, Indonesia akan mengusulkan sejumlah alternatif lokasi yang bisa menjadi proyek percontohan. Dia bilang, tanggal untuk setiap pelaksanaan sudah ditentukan saat ini. Namun, ada beberapa pihak yang tidak ingin disebutkan nominal angka untuk dana yang mereka kucurkan dalam program rehabilitasi mangrove di Indonesia. “Kita mengusulkan dengan proposal dan mereka sedang mempelajari terlebih dahulu untuk finalisasi,” tambah dia. Kus Presetiahadi meyakini, program rehabilitasi mangrove secara nasional melalui kerja sama internasional, tak hanya akan memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat pesisir. Lebih dari itu, swasta juga bisa mendapatkan keuntungan dengan penjualan karbon carbon trading. baca juga Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti kiri berdiri menemani delegasi Arab Saudi melihat kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir, Tangerang, Banten dalam kerjasama rehabilitasi mangrove untuk kredit karbon. Foto Kemenko Marves Salah satu negara yang sudah melakukan kunjungan, adalah Arab Saudi. Mereka datang tak hanya untuk berkunjung langsung ke lokasi hutan mangrove yang akan menjadi proyek kerja sama antara Indonesia dan negara tersebut. Namun juga, mereka datang untuk membahas lebih lanjut pengembangan ekosistem mangrove di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengatasi perubahan iklim di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti. Selama berada di Indonesia, Arab Saudi melihat langsung kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten dan Taman Wisata Alam Mangrove di Kapuk, Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Saat berada di lokasi mangrove, Indonesia bersama Arab Saudi melakukan diskusi dengan masyarakat setempat tentang bagaimana keterlibatan mereka dalam pengelolaan mangrove di sana. Juga, berdiskusi bagaimana mangrove bisa menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat sekitar. Nani Hendiarti menerangkan, khusus untuk mangrove di Tanjung Pasir, pengembangan akan terus dilakukan melalui program penanaman kembali. Selain itu, akan dikembangkan juga metode silvofishery untuk tambak ikan bandeng yang ada di sekeliling lokasi mangrove. “Ke depannya, kawasan ini akan dijadikan sebagai lokasi wisata edukasi,” terang dia. Menurut dia, penerapan metode tersebut dilakukan di Tanjung Pasir, karena sebelumnya sudah ada aktivitas perikanan budi daya di lokasi tersebut. Dengan demikian, hutan mangrove di sana menjadi lokasi untuk lebih dari satu aktivitas. Agar aktivitas tidak terganggu, maka ekosistem mangrove di Tanjung Pasir harus dijaga dengan baik dan sekaligus bagaimana agar hutan bisa menghasilkan kualitas udara yang baik juga. Itu kenapa, pengelola harus terus berusaha menjaga hutan mangrove tetap bersih, terutama bebas dari sampah plastik. perlu dibaca Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia Kawasan Hutan Mangrove Tanjung Pasir, Tangerang, Banten yang masuk dalam program rehabilitasi mangrove nasional. Foto Kemenko Marves Diketahui, kawasan mangrove Tanjung Pasir merupakan pengembangan lokasi melalui kerja sama antara Perusahaan Umum Kehutanan Negara Kesatuan Pemangkuan Hutan Perum Perhutani KPH Banten dengan Pemerintah Kabupaten Tangerang. “Kerja sama dilakukan untuk memanfaatkan jasa lingkungan hutan lindung Tangerang yang ada di pusat mangrove dan sekaligus menjadi ekowisata,” jelas dia. Adapun, salah satu kegiatan rehabilitasi mangrove di Tanjung Pasir sudah berlangsung pada awal 2021 dengan dilakukan penanaman batang pohon mangrove dengan melibatkan banyak kementerian. Peta Mangrove Nani Hendiarti menyebutkan, pengelolaan mangrove di Indonesia dilakukan berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021. Berdasarkan panduan tersebut, kawasan Mangrove dengan kondisi kritis sudah berkurang luasnya dari 600 ribu ha pada 2011–2013 menjadi 300 ribu ha pada 2021. “Itu bisa terjadi karena meningkatnya kesadaran masyarakat pesisir,” tegas dia. Secara keseluruhan, saat ini Indonesia memiliki lahan mangrove seluas 4,12 juta ha. Rinciannya, seluas 3,36 juta ha adalah lahan eksisting dan seluas 750 ribu ha adalah lahan potensi habitat mangrove. Untuk pengelolaan hutan mangrove, saat ini sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN periode 2020-2024 dan diturunkan menjadi enam program prioritas nasional. Di antaranya, program untuk membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan kebencanaan, dan perubahan iklim. Sementara, merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove BRGM, ditetapkan target percepatan rehabilitasi mangrove seluas hektar bisa diselesaikan pada periode 2021-2024. “Namun, itu diestimasi membutuhkan dana sekitar Rp23 triliun,” tutur dia. Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menerangkan, BRGM secara khusus melaksanakan kegiatan rehabilitasi mangrove melalui penanaman seluas ha, atau 105 persen dari total ha target penanaman pada 2021. baca juga BRGM Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah Perjalanan melintasi sekitar situs mangrove Bangko Tappampang, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan, menggunakan katinting. Kawasan seluas 51,55 hektar ini terancam antara lain oleh industri arang. Foto Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia Agar program percepatan rehabilitasi mangrove bisa tetap menjaga keberlanjutan, maka BRGM menyusun konsep rehabilitasi mangrove pada level lanskap. Pengelolaan berbasis lanskap tersebut, tujuannya untuk menyeimbangkan kepentingan penggunaan lahan yang saling berkompetisi. Dengan demikian, kegiatan perikanan budi daya akuakultur, perikanan tangkap, konservasi sumber daya hayati, fungsi perlindungan, ekowisata, dan fungsi sebagai sarana transportasi air dapat berlangsung secara harmonis. Dia menerangkan, penanaman mangrove akan memberi manfaat tidak sedikit bagi masyarakat di pesisir. Tetapi, saat melaksanakan penanaman harus dilakukan dengan sistem atau cara yang berkelanjutan. “Jangan sampai penanaman itu menyengsarakan,” ucapnya. Menurut dia, saat ini di Indonesia terdapat 130 lanskap mangrove, sehingga diperlukan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Kerja sama tersebut menjadi penting, karena semua kegiatan rehabilitasi tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu pihak. Selain fungsi ekonomi, ekosistem mangrove juga bisa menjadi EKB yang mampu menyerap karbon dioksida CO2 dalam jumlah yang sangat banyak. Kemampuan tersebut muncul bersama dengan ekosistem padang lamun yang juga ada di ekosistem pesisir. Merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, pemanfaatan karbon melalui dua ekosistem tadi, harus ditindaklanjuti dengan melaksanakan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon. Kemudian, juga harus ada mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, dengan tantangan dan segala keterbatasan yang ada, Pemerintah Indonesia tetap optimis akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen tersebut menjadi bagian kesepakatan Paris Paris Agreement yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 COP21 di Paris, Prancis, 2015. menarik dibaca Berlindung di Balik Kokohnya Benteng Ekosistem Pesisir Warga antusias tanam mangrove bersama Presiden Jokowi di Batam. Foto Yogi Eka Saputra/ Mongabay Indonesia Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto pada pekan lalu mengatakan, potensi EKB dari ekosistem mangrove memang harus bisa dikelola dengan baik oleh Indonesia. Namun, harus ada standar pedoman dalam pengelolaan EKB. Pedoman diperlukan, karena penerapan strategi nasional dan pengelolaan potensi besar EKB harus memerlukan koordinasi dan integrasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan lain. Selain itu, perlu juga disusun dokumen kebijakan yang bisa menjadi landasan hukum untuk pengelolaan karbon biru di Indonesia. Menurut dia, walau potensi EKB di Indonesia masih sangat besar, namun ada potensi pelepasan karbon dioksida CO2 ke perairan laut, disebabkan oleh perusakan ekosistem pesisir. Rincinya, ada potensi pelepasan CO2 setara dengan 19 persen total emisi perusakan hutan tropis. Apabila EKB dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, dia yakin Indonesia dapat berkontribusi lebih untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca GRK sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030. Diketahui, selain menjadi negara dengan luasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki padang lamun terluas di dunia yang mencapai 293 ribu ha. Kedua ekosistem tersebut menghadirkan potensi karbon biru yang sangat besar. perlu dibaca Padang Lamun, Gudang Karbon yang Terancam Punah Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto shutterstock Baik mangrove atau padang lamun yang ada di Indonesia disebut Bappenas sebagai ekosistem pesisir yang bisa menyimpan karbon alami carbon sink besar dalam waktu yang sangat lama dengan jumlah sedikitnya mencapai 3,3 gigaton atau 17 persen dari karbon biru global. Dengan potensi sangat besar tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini memprioritaskan ekosistem karbon biru dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir, baik yang ada di Indonesia ataupun secara global. Artikel yang diterbitkan oleh bencana ekologis, ekologi pesisir, emisi karbon, featured, hutan mangrove, jakarta, karbon biru, kerusakan lingkungan, kredit karbon, krisis iklim, padang lamun, pembangunan rendah karbon, pencemaran lingkungan, perdagangan karbon, Perikanan Kelautan, Perubahan Iklim, rehabilitasi mangrovePostedin ARTIKEL Tagged Bukit pasir Busung, Crystal Lagoon, Danau Biru, Hutan Mangrove, Lagoi Bay, Pantai Trikora, Treasure Bay Bintan Leave a comment. Posts navigation. Cari untuk: Pos-pos Terbaru. Masalah Kesehatan Dan Keselamatan Perjalanan Dapat Merugikan Perusahaan Komplex Taman Sari Blok D No 49 Tanjung Uban - BINTAN UTARA Rev- Pemerintah tengah merehabilitasi tanam mangrove di pesisir pantai se-Indonesia. Adapun kick off penanaman pohon mangrove dilakukan di Kawasan Taman Mangrove Tanjung Pasir, Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Rabu 3/3/2021. Acara tersebut turut dihadiri Kemenenterian Kordinator Bidang Maritim dan Investasi Marves, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP dan Bupati Tangerang. Dilansir dari jaringan Menteri Kordinator Bidang Marves, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, seluruh stakholders bergerak untuk melakukan rehabilitasi tanam mangvore wilayah Indonesia yang sedang populis di dunia. Luhut menyebutkan, lahan perhutani tersedia sebanyak 3,31 juta hektare. Pihaknya menargetkan rehabilitasi kawasan mangrove selama dua tahun, seluas hektare. Baca JugaRio Reifan Dapat Rekor MURI Gegara Tanam Pohon Mangrove “Kita di tahun ini akan melakukan rehabilitasi mangrove sebanyak hektare,” kata Luhut dalam sambutannya. Luhut mengaku selama empat puluh tahun terakhir, pejabat negara Amerika yang menangani masalah lingkungan memberikan apresiasi kepada Indonesia dalam upaya penanganan lingkungan. “Kemarin juga diumumkan sama Sekertaris Menteri Luar Negeri Amerika yang menangani masalah lingkungan, bahwa kita paling terbaik penanganannya di seluruh dunia,” ujarnya. Mantan Jenderal TNI ini menyampaikan bahwa Word Bank memberikan bantuan sebesar 400 juta USD untuk program Rehabilitasi Tanaman Mangrove ratusan juta hektar lahan di Indonesia. “Program 620 ribu hektar ini mungkin yang terbesar sepanjang jaman. Karena, program ini betul-betul di amati dunia. Sampai Word Bank memberikan bantuan 400 juta USD walaupun kita gak minta,” kata Luhut. Baca JugaTanam 5000 Mangrove di Bantar Gebang, Rio Reifan Dapat Rekor MURI Ia berharap kontribusi program rehabilitasi tersebut dapat sukses, karena kontribusi mangrove untuk karbon mencapai empat kali lebih besar dari kontribusi hutan. “Jadi Indonesia telah menunjukan leading atau memimpin dalam masalah lingkungan. Kalau di tanya NGO memberikan laporan negatif, tapi kita di akui oleh dunia bahwa Indonesia betul-betul memperhatikan masalah lingkungan,” tutur Luhut.
Padahal sesuai aturan, seharusnya jarak 300 meter dari bibir pantai, hanya boleh diperuntukan untuk hutan mangrove. Alih fungsi lahan mangrove memiliki dampak serius terhadap ekosistem pesisir. Beberapa dampak tersebut diantaranya (1) Perubahan struktur ekosistem, sehingga menurunnya fungsi ekologis; (2) Penurunan keanekaragaman hayati
Hutan Mangrove Desa Muara Kamis, 25 April 2021 112122 DESA MUARA Tahu kah anda, tak jauh dari tempat wisata Tanjung Pasir, Tangerang tedapat tempat wisata Hutan Mangrove yang terletak di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Tempat ini sangat cocok dijadikan destinasi berlibur yang penuh dengan edukasi bersama keluarga, teman atau pun pasangan. Hutan mangrove adalah ekosistem hutan daerah pantai yang terdiri dari kelompok pepohonan yang bisa hidup dalam lingkungan berkadar garam tinggi. Salah satu ciri tanaman mangrove memiliki akar yang menyembul ke permukaan. Penampakan mangrove seperti hamparan semak belukar yang memisahkan daratan dengan laut. Hutan ini dipenuhi berbagai macam tanaman bakau atau mangrove. Mulai dari ukuran tanaman yang besar sampai yang baru ditanam. "Tanaman di Hutan Mangrove ini banyak sekali ukurannya, dari yang besar sampai yang baru di tanam beberapa bulan yang lalu," ujar Samarudin, salah satu penjaga Hutan Mangrove Selain dapat melihat keindahan tanaman mangrove, tempat ini juga memberikan pemandangan laut yang indah, pantai yang besih. Serta berbagai wahana permainan air seperti perahu bebek, perahu dayung dan pelampung. Namun, sayangnya akses menuju tempat ini melewati jalan yang tidak terlalu lebar. Selain itu terdapat beberapa jalanan yang berlubang dibeberapa titik. "Akses jalannya tidak terlalu besar sama berlubang, tapi karna sudah sampai sini saya tak menyesal, karena tempatnya memang indah," ujar Fadli Muamar, salah satu pengunjung
Ada gagasan untuk menjadikan hutan mangrove yang ada di Pangkalan Susu, terutama di Kelurahan Beras Basah," kata Sukyar Muliamin Kepala Wilayah Kecamatan Pangkalan Susu, ketika ditemui di Pangkalan Susu, Rabu (19/1). Apalagi kawasan ini berbatasan langsung dengan Desa Tanjung Pasir dimana pembangunan Pembangkit Listrik
kah anda, tak jauh dari tempat wisata Tanjung Pasir, Tangerang tedapat tempat wisata Hutan Mangrove yang terletak di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Tempat ini sangat cocok dijadikan destinasi berlibur yang penuh dengan edukasi bersama keluarga, teman atau pun pasangan. Hutan mangrove adalah ekosistem hutan daerah pantai yang terdiri dari kelompok pepohonan yang bisa hidup dalam lingkungan berkadar garam tinggi. Salah satu ciri tanaman mangrove memiliki akar yang menyembul ke permukaan. Penampakan mangrove seperti hamparan semak belukar yang memisahkan daratan dengan laut. Hutan ini dipenuhi berbagai macam tanaman bakau atau mangrove. Mulai dari ukuran tanaman yang besar sampai yang baru ditanam. "Tanaman di Hutan Mangrove ini banyak sekali ukurannya, dari yang besar sampai yang baru di tanam beberapa bulan yang lalu," ujar Samarudin, salah satu penjaga Hutan Mangrove. Selain dapat melihat keindahan tanaman mangrove, tempat ini juga memberikan pemandangan laut yang indah, pantai yang besih. Serta berbagai wahana permainan air seperti perahu bebek, perahu dayung dan pelampung. Namun, sayangnya akses menuju tempat ini melewati jalan yang tidak terlalu lebar. Selain itu terdapat beberapa jalanan yang berlubang dibeberapa titik. "Akses jalannya tidak terlalu besar sama berlubang, tapi karna sudah sampai sini saya tak menyesal, karena tempatnya memang indah," ujar Fadli Muamar, salah satu pengunjung. RED/RAC
Adadua fungsi hutan mangrove sebagai potensi sumber daya laut di Indonesia yaitu fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai habitat (tempat hidup) binatang laut untuk berlindung, mencari makan, dan berkembang biak. Fungsi ekologis yang lain dari hutan mangrove adalah untuk melindungi pantai dari abrasi air laut.
Pantai Mangrove di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupateng Tangerang Foto M. Aulia Ikhsan untuk TangerangDailyKABUPATEN TANGERANG TD – Tak hanya pantai Tanjung Pasir dan Tanjung Kait, di Kabupaten Tangerang juga terdapat pantai lainnya, di antaranya pantai Mangrove di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupateng Tangerang ini mulai ramai Mangrove menyuguhkan view yang berbeda dengan pantai-pantai lainnya di Tangerang. Sebelum memasuki pantai, pengunjung akan melewati hutan mangrove yang memberikan kesan teduh dam nyaman. Tak sedikit pengunjung yang duduk-duduk mengayunkan kaki di atas jalan setapak yang terbuat dari bale menyusuri hutan mangrove, pengunjung akan melewati jembatan yang terbuat dari bambu untuk melewati sungai yang airnya bermuara ke laut. Ya, seperti nama desanya, di sini pengunjung bisa melihat aliran sungai yang bermuara ke lautan. Melihat arus air sungai yang beradu dengan ombak Mangrove di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupateng Tangerang Foto M. Aulia Ikhsan untuk TangerangDailyKetika sudah menyeberangi sungai, selanjutnya pengunjung akan disambut hamparan pantai yang indah dan asri. Berbeda dengan pantai lain seperti Tanjung Pasir, di pantai Mangrove masih terkesan asri. Tak banyak pedagang, penyewaan ban dan pelampung, dan lainnya yang biasanya membuat Mangrove seperti pantai tersembunyi yang belum sepenuhnya terjamah manusia, namun itulah yang membuatnya menarik. Ketika berjalan menuju pantai, pengunjung seperti berpetualang menuju tempat tersembunyi, dan ketika telah sampai, keindahannya seperti menghipnotis untuk berlama-lama di sana.“Suasananya teduh, nyaman gitu, apalagi kalo weekdays itu sepi jadi lebih asik mantainya, terus juga fasilitasnya makin ke sini makin bagus jadi mau balik lagi ke sini,” ujar Yunianoer Azizah, pengunjung pantai Mangrove, Kamis 25 November Tiket MasukPantai Mangrove di Desa Muara, Kecamatan Teluknaga, Kabupateng Tangerang Foto M. Aulia Ikhsan untuk TangerangDailyTiket masuk berkisar Rp per orang untuk weekdays dan Rp per orang untuk weekend dan hari libur. Kemudian untuk parkir kendaraan berkisar untuk mobil saat weekdays dan saat weekend dan hari libur. Sementara tarif parkir untuk sepeda motor saat weekdays dan saat weekend dan hari ingin berkunjung ke pantai ini, baiknya hindari saat weekend. Karena saat hari Sabtu atau Minggu, ramai pengunjung. “Ramainya biasanya Sabtu dan Minggu. Kalau lagi ramai bisa sampai 500 pengunjung. Kalau hari biasa hanya satu dua pengunjung,” ujar Sopinah, warga sekitar sekaligus pengurus pantai M. Aulia Ikhsan, mahasiswa FISIP UNIS Tangerang, prodi JurnalistikEditor Della Zakaria
Medanbisnisdailycom-Belawan. Warga Kota Medan yang akan menghabiskan liburan akhir pekan tak perlu lagi harus ke luar kota dengan mengeluarkan biaya besar. Pasalnya, kini hutan mangrove di kawasan
ArticlePDF AvailableAbstractThe purpose of this research is to study, titled Impact of tourism development in the village of Sand Mangrove Park, District Mempawah Hilir Regency Mempawah. With the problem of how the form of livelihoods, theeconomic condition of the community after the development, and social relations that exist around mangrove forest tourism. This research method is a qualitative research approach. This type of research is a case study. The words and actions of the person being interviewed or observed are the main data sources. The main data sources are recorded through written records or through video / audio tapes recording, taking photos or films. Data collection techniques used were interviews, observation, and study of documentation. Analysis of the data used is data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results showed that The impact of social change in terms of livelihoods and economic conditions is very beneficial to the community because of the development of the mangrove park tourism can increase people's income and livelihood of the community also increased where the livelihood of the community initially farmers or fishermen can also workas parking attendants, traders or crossing services and in terms of social relations also the community in the area is very good. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. J-PSH Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Volume 11 Number 1 April 2020 Volume 11 Number 1 April 2020, Page 25-29 / E-ISSN 1569388446 dan P-ISSN 2087-8451 14 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial International License. Dampak Pembangunan Wisata Hutan Mangrove Di Pasir Panjang, kcamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah Richard Septhrus Riyanto, Sawitri O E. Mempawah, Indonesia E-mail r_septhrus19 Abstract The purpose of this research is to study, titled Impact of tourism development in the village of Sand Mangrove Park, District Mempawah Hilir Regency Mempawah. With the problem of how the form of livelihoods, the economic condition of the community after the development, and social relations that exist around mangrove forest tourism. This research method is a qualitative research approach. This type of research is a case study. The words and actions of the person being interviewed or observed are the main data sources. The main data sources are recorded through written records or through video / audio tapes recording, taking photos or films. Data collection techniques used were interviews, observation, and study of documentation. Analysis of the data used is data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results showed that The impact of social change in terms of livelihoods and economic conditions is very beneficial to the community because of the development of the mangrove park tourism can increase people's income and livelihood of the community also increased where the livelihood of the community initially farmers or fishermen can also work as parking attendants, traders or crossing services and in terms of social relations also the community in the area is very good. Keywords Impact, Mangrove Forest Tourism Development, Social Change PENDAHULUAN Perkembangan zaman yang semakin maju menuntut manusia untuk dapat mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan. Sadar atau tidak sadar, manusia sebagai makhluk monodualisme akan mengalami perbedaan keadaan sosial dari waktu sebelumnya ke waktu sekarang ataupun masa depan. Perbedaan keadaan itu yang menyebabkan adanya perubahan sosial, perubahan tatanan masyarakat yang secara sadar ataupun tidak, cepat atau lambat. dapat berlangsung dengan sendirinya maupun disengaja, tentunya dengan memperhatikan faktor-faktor pendukung sekaligus penghambatnya. Perubahan sosial yang terjadi akan berdampak pada pembangunan sosial masyarakat, perubahan yang postif dan menguntungkan, akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan sosial, tentunya tak lepas dari peran pembangunan ekonomi yang ada, karena pembangunan ekonomi yang maju, akan menghasilkan pembangunan sosial yang maju pula. Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut. Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana perubahan sosial, ekonomi, dan sistem mata pencaharian pada masyarakat Desa Pasir Kecamatan Mempahawah Hilir Kabupaten Mempawah dengan melihat kondisi setelah hadirnya objek wisata hutan Mangrove. Peneliti inign menampilkan tentang J-PSH Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Volume 11 Number 1 April 2020 Volume 11 Number 1 April 2020, Page 25-29 / E-ISSN 1569388446 dan P-ISSN 2087-8451 14 penrmasalahan yang dihadapi masyarakat terimbas dari pembangunan hutan Mangrove. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini bersifat studi kasus. Kata-kata dan tindakan orang yang diwawancarai atau diamati merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio tapes, pengambilan foto atau film Moleong, 2010157. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Kemudian pengecekan keabsahan data yang digunakan adalah perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, dan Expert Opinion. Mengingat pentingnya kehadiran peneliti ke objek penelitian maka penelitian ini memerlukan waktu yang dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama yakni tahap pra-lapangan untuk memperoleh data secara umum. Tahap kedua yakni pekerjaan lapangan untuk memperoleh data secara khusus dalam rangka menggali dan menganalisis data dengan melakukan wawancara kepada masyarakat setempat. Tahap ketiga adalah tahap analisis data, dan tahap yang terakhir adalah tahap penulisan laporan. Penelitian dilakukan di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir. karena desa ini letaknya paling dekat dan paling banyak terimbas dampak dari kehadiran objek wisata Hutan Mangrove. Masyarakat Desa Pasir sebagai subjek penelitian akan dimintai keterangan sebanyak-banyaknya tentang kondisi hubungan sosial, ekonomi, dan mata pencaharian baik sebelum ataupun sesudah adanya objek wisata Hutan Mangrove. Selain itu, dilakukan wawancara kepada perangkat-perangkat desa yang memiliki pengetahuan lebih banyak tentang Desa Pasir. Penelitian ini dilakukan di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah dengan mengobservasi tempat wisata Hutan Mangrove. Dengan mempertimbangkan lokasi wisata hutan mangrove merupakan salah satu potensi untuk dikembangkan. Teknik Pengumpulan Data, Observasi yaitu metode mencari data dengan mendatangi langsung tempat yang akan diteliti untuk mencari informasi sesuai dengan objek penelitian. Metode pustaka yaitu cara pengumpulan dan dengan cara membaca buku yang ada kaitannya dengan objek penelitian. Wawancara adalah teknik komunikasi langsung antara peneliti dan sampel. Dalam melaksanakan wawancara diperlukan persiapan yang matang, sehingga pertanyaan-pertanyaan wawancara memperoleh jawaban yang dibutuhkan. Wawancara menurut tujuannya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu wawancara survei dan wawancara diagnosik. Wawancara survei bertujuan untuk menmcari data sesuai populasi. Sedangkan wawancara diagnosik bertujuan untuk mendiagsosis, guna menyusun pedoman wawancara. Pedoman yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman yang hanya membuat garis besar wawancara. Menurut Satori 2011148 dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi bisa bentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari sesorang. Dokumentasi dalam penelitian ini ialah berupa foto gambar, Audio dan tulisan yang sesuai dengan data yang akan diperlukan nantinya. Menurut Satori 2011129 “wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalan penelitian kualitatif. Melaksanakan teknik wawancara berarti melakukan interaksi komunikasi antara pewawancara dan terwawancara”. Panduan wawancara dalam penelitian ini merupakan daftar pertanyaan yang digunakan peneliti untuk melakukan wawancara kepada informan guna memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penelitian nantinya. Menurut Satori 2011105 menyatakan bahwa “observasi adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang harus dikumpulkan dalam penelitian”. Dalam penelitian ini menggunkan lembar observasi sebagai alat pengumpulan data mengenai apa saja yang berkaitan dengan Dampak Pembangunan Wisata Taman Mangrove di Desa Pasir Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten Mempawah. HASIL DAN PEMBAHASAN Wisata hutan mangrove merupakan salah satu tempat destinasi wisata yang ada di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, RT 06 RW 02 Kabupaten Membawah. Wisata hutan mangrove ini dikelola oleh organisasi Kelompok Sadar Wisata POKDARWIS dan wisata hutan mangrove diresmikan pada tanggal 23 agustus 2016. Ada beberapa fasilitas yang tersedia di twmpat wisata ini salah satunya ada rumah baca, pentas, musola, dan spot-spot yang menarik bagi pengunjung untuk sekedar bersantai, ataupun berfoto. Setelah kami melakukan observasi di kawasan hutan mangrove yang berada di Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, dengan meneliti dari segi ekonomi masyarakat yang J-PSH Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Volume 11 Number 1 April 2020 Volume 11 Number 1 April 2020, Page 25-29 / E-ISSN 1569388446 dan P-ISSN 2087-8451 14 ada disekitar wisata hutan mangrove, dan dari segi sistem mata pencaharian seperti nelayan, pedagang, parkir dan pengunjung. Serta dari segi hubungan social antar warga dan pengunjung. Fasilitas yang ada di wisata hutan mangrove salah satunya yaitu rumah baca yang berisi beberapa jenis buku yang bisa dibaca oleh pengunjung, kemudian ada pentas, yang bisa digunakan oleh pengunjung untuk acara-acara tertentu seperti pentas seni dan lainnya. Hasil pengamatan yang telah kami lakukan di hutan mangrove mengenai dampak pembangunan wisata hutan mangrove terhadap masyarakat sekitar. Pertama dari segi sistem mata pencaharian, ada sebagian warga menjadi nelayan sekaligus menjadi alat transportasi untuk menuju pulau senibung yang ada diseberang wisata hutan mangrove, ada pula sebagian warga yang menjadi pedagang disekitar wisata hutan mangrove, kemudian adapula warga yang bekerja sebgai petani namun ketika musim tani selesai maka mereka beralih profesi menjadi tukang parkir. Kedua, dari segi ekonomi, salah satunya nelayan yang dulunya sebelum adanya hutan mangrove hanya mencari ikan namun, setelah adanya hutan mangeove maka salah satu yang bisa mereka lakukan yaitu menyeberangkan pengunjung dari dermaga hutan mangrove ke pulau penibung yang ada diseberang hutan mangrove dengan harga 40ribu/orang pulang pergi mulai dari jam 2 siang. Adapun bagi pedagang, penghasilan mereka menjadi lebih meningkat dengan datangnya pengunjung yang berkunjung ke hutan mangrove, yang membeli dagangan mereka, apalagi ketika hari weekend atau hari raya besar dengan tingkat pengunjung yang meningkat. Kemudian bagi petugas parkir, dari segi ekonomi maka adanya wisata hutan mangrove maka menambah penghasilan mereka. Ketiga dari segi hubungan sosial, adanya wisata hutan mangrove maka antara warga di Desa Pasir hubungan sosial nya menjadi lebih baik dengan mereka membentuk suatu organisasi kelompok Sadar Wisata POKDARWIS dengan demikian mereka saling bekerja sama mengelola tempat wisata hutan mangrove dengan terus mengembangkan tempat tersebut menjadi lebih menarik sehingga menarik minat pengunjung, dan pengunjung pun menjadi antusias untuk terus datang ke wisata hutan mangrove. Kemudian, hubungan sosial antara pengunjung dan warga ada yang ramah adapula yang cuek dan beragam macam, namun pengunjung juga tidak membuang sampah sembarangan sehingga tempat wisata hutan mangrove lebih bersih dari sampah walaupun ada juga sampah yang berasal dari laut. Dan hubungan sosial antara pekerja lainya seperti tukang parkir, nelayan juga berinteraksi dengan baik tanpa ada perselisihan dan bekerja sesuai bidang masing-masing. Dalam observasi ini kami mewawancarai beberapa orang yang berada wista hutan mangrove yaitu pengelola, pedagang, nelayan, petugas parkir dan pengunjung. Yang pertama, kami mewawancarai pengelola awal wisata hutan mangrove yaitu bapak Guriyanto atau biasa dipanggil pak iyan, beliau mengatakan bahwa hutan mangrove pertama kali mulai ingin dibangun pada tahun 2014 namun belum ditanami pohon bakau. Kemudian hutan mangrove ini dibangun atau dikelola lebih lanjut oleh bapak Wawan pada tahun 2016 dengan bantuan dari BI Bank Indonesia dan dibantu oleh Bapak Raja Fajar Ajiansyah sebagai Kabid Pariwasata. Dengan bantuan-bantuan tersebut maka wisata hutan mangrove menjadi berkembang sebagai tempat wisata yang ramai dikunjung, Hutan mangrove terdiri dari 4 hektar, dan ada spot-spot yang digunakan berfoto. Pak Wawan juga menceritakan pada awal di resmikan nya wisata hutan mangrove tahun 2016 pengunjung yang datang 4-5 ribu orang serta ada pengunjung dari luar negeri yang datang. Namun untuk saat ini pengunjung mulai berkurang, dan hanya ramai pada saat weekend atau hari raya tertentu. Pengunjung yang data ke wisata hutan mangrove ini ditarif dengan harga hasil dari pembayaran tiket ini digunakan untuk membayar karyawan dan perbaikan bangunan yang rusak. Dari segi hubungan sosial, menurut beliau, pengunjung dengan sifat yang berbeda-beda, ada yang lebih ramah adapula yang cuek acuh tak acuh, dalam beriraksi. Kemudian menurut pak Wawan dengan adanya wisata hutan mangrove ini menjadi salah satu mata pencaharian bagi beliau yang menjadi pengelola di tempat wisata tersebut. Yang kedua, kami mewancarai pedagang yang ada diwisata hutan mangrove yaitu Pak Guriyanto Pak Iyan, Pak Iyan ini selain menjadi pendiri awal ia juga sebagai salah satu pedagang yang ada diwisata ini, Pak iyan mengatakan bahwa dengan adanya pembangunan wisata hutan mangrove ini maka menambah penghasilan bagi beliau, ketika banyak pengunjung yang datang maka penghasilan nya meningkat dari biasanya, pak Iyan menjual beberapa jenis makanan ringan, da nada pula menjual kerajinan tangan dari plastik yang dibentuk menjadi tas. Namun, beliau mengatakan minat pengunjung untuk membeli kerajian tersebut sangat kurang. Pak Iyan mengatakan dulunya beliau hanya sebagai petani, namun dengan adanya hutan mangrove mata pencaharian beliau pun bertambah yaitu sebagai pedagang. Hubungan soaial dengan pengunjung, pengelola maupun yang lainnya J-PSH Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Volume 11 Number 1 April 2020 Volume 11 Number 1 April 2020, Page 25-29 / E-ISSN 1569388446 dan P-ISSN 2087-8451 14 terjalin dengan baik, dengan terkadang mereka membersihkan sampah ditempat wisata tersebut secara bergotong royong. Beliau juga sering membantu mengarahkan beberapa mahasiswa yang meneliti ataupun KKM di wisata hutan mangrove untuk membangun beberapa fasilitas di tempat tersebut seperti pembuatan patung unta yang dibuat oleh mahasiswa dan pak Iyan. Yang ketiga, kami mewawancarai nelayan, yaitu bapak Yanto, beliau bekerja menjadi nelayan disekitar hutan mangrove, selain menjadi nelayan beliau juga memberi jasa penyeberangan menuju pulau senibung yang menambah penghasilannya. Beliau mengatakan bahwa dengan adanya pembangunan hutan mangrove maka menarik pengunjung untuk datang dan penasaran dengan pulau senibung serta adapula yang tujuan nya untuk berkemah ke pulau senibung, maka jasa nelayan ini sangat diperlukan. Yang ke empat, kami mewawancarai petugas parkir yaitu bapak Joni, dengan adanya pembangunan wisata hutan mangrove, beliau mengatakan bahwa selain menjadi petugas parkir beliau sebenarnya seorang petani, namun bertani dengan musiman, ketika tidak musim bertani beliau menjadi petugas parkir, namun, dalam parkir ini ada beberapa orang yang bekerja secara bergantian. Namun, dari hasil parkir ini maka cukup menambah penghasilannya. Penghasilan dari tukang parkir tersebut bisa mencapai sehari dari 10-50ribu dengan tarif Rp 1000 per motor. Yang Kelima, kami mewawancari pengunjung, yaitu bapak Rudi, menurut beliau adanya wisata hutan mangrove ini maka ada tempat rekreasi yang bisa dikunjungi dengan keluarga sekaligus belajar tentang hutan mangrove, apalagi adanya spot-spot yang menarik. Dan setiap tahun nya ada perbaikan-perbaikan atau penambahan spot-spot baru sehingga pengunjung datang kembali dengan tidak bosan, dan menarik minat untuk kembali ke tempat wisata tersebut. Menurut pak Rudi pelayanan dari pengelola, pedagang, petugas parkir dan masyarakat sekitar sangat baik, dengan mereka menerima kedatangan pengunjung, sehingga pengunjung merasa nyaman dana man saat berada di tempat wisata tersebut. Dampak Perubahan Sosial dari segi Ekonomi Obseservasi yang dilakukan di Desa Pasir dengan meneliti tempat wisata hutan mangrove. Kami menemukan beberapa dampak perubahan sosial dari segi ekonomi bagi masyarakat yang ada disekitar tempat wisata tersebut. Dampaknya ialah dengan adanya wisata hutan mangrove tersebut maka menambah penghasilan bagi masyarakat sekitar yang dulunya banyak berprofesi sebagai petani dan nelayan, namun dengan adanya wisata hutan mangrove ini maka ekonomi lebih meningkat, adanya pengunjung yang dating dari berbagai daerah maupun berbagai negara membuat wisata hutan mangrove menjadi lebih terkenal yang kemudian mendatangkan pengunjung yang lebih banyak lagi sehingga bagi pengelola, pedagang, petugas parkir, nelayan yang memberi jasa penyeberangan pengunjung ke pulau senibung yang berada diseberang wisata hutan mangrove pengasilan mereka menjadi lebih meningkat. Wisata hutan mangrove ini memberi dampak yang cukup besar dalam ekonomi masyarakat sekitar. Dampak Perubahan Sosial dari segi Mata pencaharian Dengan adanya wisata hutan mangrove memberi peluang atau mata pencaharian lainnya bagi masyarakat di Desa Pasir yang dulunya hanya sebagai petani ataupun nelayan sekarang mereka mendapatkan profesi yang lainnya atau mata pencaharian lainnya, seperti berdagang di tempat wistaa hutan mangrove, menjadi petugas parkir, nelayan dengan jasa penyebrangan ke pulau senibung. Maka adanya wisata hutan mangrove ini memberi dampak yang positifbagi masyarakat untuk menambah penghasilan mereka. Dampak Perubahan Sosial dari segi Hubungan Sosial Dalam hubungan soaial antara masyarakat dengan masyarakat, Masyarakat dengan pengunjung, Pengelola dengan pengunjung, pengunjung dengan pengunjung, pedagang, tukang parker dan lain sebgainya menjadi lebih baik dengan saling bekerjasama pengelola memberikan selogan untuk tidak membuang sampah sembarangan, kemudian dari pengunjung juga tidak membuang sampah sembarangan, pengunjung juga tidak melakukan hal penyimpangan atau yang lainnya ditempat wisata ini, kenudian masyarakat di Desa Pasir juga hubungan sosial nya baik saling bekerja sama, dan tidak mengambil alih lahan pekerjaan atau mata pencaharian orang lain, mereka juga berkomunikasi dengan baik dengan tidak adanya perselisihan. Kemudian pengunjung juga tidak pernah membuat kekacauan. Dengan adanya wisata hutan mangrove juga memberi dampak hubungan sosial anatara pengunjung yang saling berinteraksi atau kenalan dengan pengunjung lainnya. KESIMPULAN Dari Penelitian yang lakukan di wisata hutan mangrove Desa Pasir, Kecamatan Mmempawah Hilir, Kabupaten mempawah dengan mengambil tema J-PSH Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Volume 11 Number 1 April 2020 Volume 11 Number 1 April 2020, Page 25-29 / E-ISSN 1569388446 dan P-ISSN 2087-8451 14 dampak perubahan sosial pembangunan wisata hutan mangrove, maka kami menyimpulkan Dampak perubahan sosial adanya wisata hutan mangrove dari segi ekonomi bagi masyarakat sekitar ialah membantu penghasilan masyarakat jadi lebih meningkat terutama bagi pengelola, pedagang, petugas parker, dan nelayan. Melalui pengunjung yang dating dari berbagai daerah yang berkunjung untuk melihat wisata hutan mangrove. Dampak perubahan sosial adnya hutan mangrove dari segi mata pencaharian bagi masyarakat Desa Pasir yang ada disekitar tempat wisata hutan mangrove memberikan tambahan mata pencaharian bagi masyarakat di Desa Pasir yang dulunya hanya sebagai petani dan nelayan, setelah adanya wisata hutan mangrove mata pencaharian mereka menjadi bertambah seperti berdagang, parkir, nelayan dengan jasa penyebarangan pengunjung ke pulau senibung yang berda diseberang wisata hutan mangrove. Dampak perubahan sosial adnya hutan mangrove dari segi hubungan sosial, dalam masyarakat ataupun pekerja yang ada di wisata hutan mangrove hubungan sosialnya sangat baik, dengan mereka biasa bekerjasama membersihkan hutan mangrove tersebut, kemudian merke juga tidak adanya perselisihan dengan adanya bagian masing-masing sehingga tidak mengambil lahan mata pencaharian orang lain. SARAN Semoga kedepannya Wisata Hutan mangrove bisa lebih berkembang menjadi tempat wisata yang tetap ramai dikunjungi oleh pengunjung dari berbagai daeah maupun di luar negeri, sehingga tempat wisata hutan mangrove ini menjadi banyak dikenali oleh orang banyak dan bisa menjadi pembelajaran atau pendidikan tentang pentingnya hutan mangrove. Dan hutan mangrove diharapkan tetap bersih dan nyaman sehingga menarik pengunjung untuk terus datang. Bagi pengelola hutan mangrove disarankan untuk terus mengembangkan spt-spot yang menarik di dalam wisata hutan mangrove, sehingga menarik minat pengunjung. DAFTAR PUSTAKA Satori, D. & Aan, K. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Alfabeta Soekanto, Soerjono. Sosiologi sebuah pengantar Edisi ke-2, Jakarta Rajawalipers, 1986. Soekanto, Soerjono. Sosiologi suatu pengantar, Jakarta PT. Grafindo, 2005. Setiadi, Elly M dan Kolip Usman. Pengantar Sosiologi, Jakarta KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2011. Jones, Pip. 1979 pengantar teori-teori sosial, Jakarta PT Raja Grafindo Persada ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
DiTanah Air, terdapat beberapa kawasan hutan mangrove yang cantik. Kawasan ini biasanya digunakan sebagai destinasi wisata. Berikut adalah 5 wisata hutan mangrove di Indonesia yang dapat Anda nikmati keindahannya. Cek dulu, mana destinasi favoritmu. 1. Taman Wisata Alam Angke Kapuk, DKI Jakarta. Tempat ini merupakan ekosistem lahan basah yang5WNM.